![]() | |
Watu Tumpang yang berada di Hutan Petak 69, RPH Karetan, BKBH Karetan, KPH Banyuwangi Selatan masuk wilayah Dusun Sidodadi, Desa Karetan, Kecamatan Purwoharjo |
Banyuwangi, BPW - Situs Selo Tumpang atau Watu Tumpang yang berada di Hutan Petak 69, RPH Karetan, BKBH Karetan, KPH Banyuwangi Selatan masuk wilayah Dusun Sidodadi, Desa Karetan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi merupakan Sebuah Situs Cagar Budaya bersejarah di Banyuwangi.
Dengan bangunan utama seluas 144 meter persegi, kondisinya tampak sangat terawat. Di tengah-tengah bangunan itulah ada batu berukuran cukup besar dengan posisi menumpang atau menindih batu lain. Batu yang berada di bawah berukuran lebih besar atau lebar ketimbang batu di atasnya.
Konon, berdasar cerita di masyarakat, sejarah batu tumpang itu bermula pada tahun 1922 Masehi ada pasangan suami istri (Pasutri) Tropawirorejo dan Raden Ayu Ruminah atau Mbah Kusumorejo membuka hutan.
Ketika membuka hutan, Pasutri itu memberi batas atau tanda hutan yang telah dibabat menggunakan dua batu kecil yang ditumpuk. Batu yang dijadikan batas dengan cara ditumpangkan itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Sejak itulah warga kemudian memberi sebutan Watu Tumpang atau Selo Tumpang, atau juga disebut dengan sebutan Mbah Widjojokusumo.
Dengan bangunan utama seluas 144 meter persegi, kondisinya tampak sangat terawat. Di tengah-tengah bangunan itulah ada batu berukuran cukup besar dengan posisi menumpang atau menindih batu lain. Batu yang berada di bawah berukuran lebih besar atau lebar ketimbang batu di atasnya.
Konon, berdasar cerita di masyarakat, sejarah batu tumpang itu bermula pada tahun 1922 Masehi ada pasangan suami istri (Pasutri) Tropawirorejo dan Raden Ayu Ruminah atau Mbah Kusumorejo membuka hutan.
Ketika membuka hutan, Pasutri itu memberi batas atau tanda hutan yang telah dibabat menggunakan dua batu kecil yang ditumpuk. Batu yang dijadikan batas dengan cara ditumpangkan itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Sejak itulah warga kemudian memberi sebutan Watu Tumpang atau Selo Tumpang, atau juga disebut dengan sebutan Mbah Widjojokusumo.
Di tempat itu, nampak dari arah pintu masuk, di sisi kanan ada bangunan lapang mirip sebuah balai banjar (tempat pesamuan umat Hindu, red). Di bangunan yang berlantai keramik itu, ada sebuah tikar dan karpet. Di tempat itu biasanya sering digunakan para pengunjung untuk melakukan ritual bersemedi.
Sementara, di sisi kiri pintu masuk terdapat sebuah pondokan yang dilengkapi meja panjang dan kursi kayu sepanjang dua meter. Tempat itu disediakan bagi para pengunjung untuk bersantai dan duduk-duduk.
Menurut keterangan Nanang (38), Juru Kunci Watu Tumpang, di tempat tersebut sebagai juru kunci pertamanya dulu adalah almarhum Mbah Bugiman warga Desa Karetan.
“Juru kunci yang pertama kali adalah almarhum Mbah Bugiman mas,” terang Nanang Minggu (29/1/17).
Dikatakan oleh Nanang, seiring dengan berjalannya waktu, Watu Tumpang ini kemudian oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan sering dijadikan tempat bersemedi. Khususnya setiap malam Jumat Kliwon dan Jumat Legi.
“Kalau bulan Suro (dalam kalender Jawa), lebih ramai lagi,” terangnya.
Bahkan, pengunjung yang datang untuk melakukan ritual di Watu Tumpang banyak yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Seperti dari Aceh, Jakarta, Demak, Kudus, Semarang, Jogjakarta, Cirebon, Surabaya dan Bali serta berbagai kota lain di Indonesia.
‘’Yang datang ditempat ini rata-rata orang jauh-jauh pokoknya mas,’’ katanya.
Situs Watu Tumpang itu oleh sebagian masyarakat sampai saat ini dipercaya dan masih disakralkan. Jika warga memiliki hajatan, seperti khitanan, menikahkan, mereka menggelar selamatan dengan membawa nasi tumpeng di tempat tersebut.
Situs Watu Tumpang dulu hanya sebuah batu biasa di atas permukaan tanah. Pada tahun 1988 batu tersebut pernah dibongkar paksa menggunakan peledak (dinamit) dan hancur menjadi beberapa bagian. Tetapi, tidak berselang lama batu itu berkumpul kembali dalam bentuk seperti semula.
Karena banyak warga yang datang dari luar daerah, pada tahun 2002 oleh salah satu tokoh agama setempat, Marjono, Watu Tumpang dipugar dan dibuatkan bangunan beserta pagarnya.
“Hingga kini Watu Tumpang masih terawat dengan baik. Yang jelas setiap hari-hari pasaran kliwon selalu ada saja warga yang berkunjung kesini,” pungkasnya. (Eko Prastyo)
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar anda dengan baik dan benar, mohon tidak beriklan di kolom komentar. Jika anda ingin berpromosi, direkomendasikan/endorse, atau beriklan, anda bisa " Kontak Kami Langsung ". Terima kasih.