![]() |
Syukuri hidup, Misinah sedang menganyam iratan bambu sebagai untuk pembuatan kalo sebagai mata pencahariannya |
Banyuwangi, BPW - Trampil, cekatan dan tetap menanti peluang, itulah yang hingga kini masih tetap ditekuni sejumlah warga di Dusun Kedungagung, Desa Sambirejo Kecamatan Bangorejo, Banyuwangi.
Sehari-hari mereka tetap menjalankan rutinitasnya sebagai pengrajin anyaman bambu pembuat kalo. Yaitu bambu anyaman berbentuk bulatan yang biasa digunakan sebagai alat memasak didapur.
Siapa sangka dari hasil jerih payah warga ini, kini banyak warga masih melihat keberadaan anyaman kalo yang saat ini juga terbilang sangat langka ini. Sebut saja Misinah (50), salah satu pengrajin yang mengaku telah melakukan aktivitasnya itu sejak usia muda.
“Saya mulai mengirat bambu dan belajar menganyam itu semenjak masih bujang. Setelah tahu caranya, langsung ikut menganyam bambu untuk membuat anyaman pembuatan kalo. Ini awalnya ya dari orang tua,” ungkapnya menceritakan masa lalunya.
Meski kini keberadaan kalo semakin tergerus dengan adanya sejumlah bahan pengganti lain, seperti kalo berbahan dasar alumunium, namun di daerah ini masih terdapat sekitar puluhan warga yang tetap eksis menggeluti anyaman ini. Bahkan, mereka mengaku tak pernah kesulitan untuk mencari pelanggan dari setiap hasil karyanya itu.
“Kalau pasar memang mengurangi, tapi sudah banyak pesanan yang datang sehingga tak kesulitan untuk menjualnya,” ujarnya.
Ternyata mengenai proses pembuatan anyaman kalo ini tidaklah terlalu rumit. Sebelum menjadi bentuk bahan dasar berbentuk kalo, ternyata bambu terlebih dahulu harus melalui proses yang cukup panjang.
Mula-mula bambu yang berbentuk lonjoran tersebut dipotong sesuai dengan ukuran. Kemudian, bambu tersebut dibelah. Setelah itu bambu di irat atau dibelah tipis-tipis dan selanjutnya dilakukan proses penjemuran.
Bambu yang kering selanjutnya siap untuk dianyam menjadi kalo. Setelah proses anyaman selesai, anyaman tersebut ditali dengan iratan bambu mengunakan tali khusus berbahan dasar bambu yaitu tutus (iratan bambu).
Misinah menceritakan bahwa dirinya memperoleh bahan baku bambu itu didapat dari wilayah sekitar. Untuk tiap batang Bambu, ia harus membeli dengan harga Rp.15,000. Sebatang bambu dapat menghasilkan 10-20 kalo.
“Dalam sehari saya hanya bisa membuat 10 anyaman kalo saja”, tandasnya.
Mengenai harga jual kerajinan kalo ditingkat pengepul, dijual dengan bandrol Rp. 5000 perbuah dan biasanya para pengepul itu mengambil dengan jumlah kordian atau losinan.
’’Harganya perbiji kami jual dengan harga 5000. Itupun biasanya sudah ada yang memesan dengan paket kordian. Sampek kantu-kantu (kualahan) saya mas,” ucapnya.
Uniknya, dari proses keseluruhan yang dilakukan tersebut dilakukan dengan menggunakan cara manual. Hal itu dikarenakan hingga kini belum ada alat pengganti layaknya mesin untuk mempermudah proses kerja warga ini. Jika pun ada, sasaran alat tersebut tak mampu dijangkau oleh mereka.
Kata Mistinah, pemerintah setempat belum mampu mengakomodasi keluhan warga, sekaligus membantu melestarikan budaya kreatif dari warganya.
Karena hingga saat ini, masih belum ada sentuhan dari pihak pemerintah untuk mau membantu dalam mengembangkan usaha kerajinan bambu di desanya. Misinah mengaku, tidak pernah berani untuk meminjam modal di bank.
“Berharap bantuan ke pemerintah juga tidak berani mas, kita ini orang kecil, mana mungkin diperhatikan,” pungkasnya. (Eko Prastyo)
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar anda dengan baik dan benar, mohon tidak beriklan di kolom komentar. Jika anda ingin berpromosi, direkomendasikan/endorse, atau beriklan, anda bisa " Kontak Kami Langsung ". Terima kasih.